Minggu, 17 November 2013

Mengapa Hukum di Indonesia Lemah Terhadap Kalangan Atas?



Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidak adilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidak adilan sudah biasa terjadi. Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. Karena mereka dapat menggunakan uang untuk meringankan hukuman yang seharusnya dijatuhkan padanya.
Tetapi kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja karena ketidak adilan hukum ini terjadi karena kesepakatan dari pihak yang bersangkutan  sehingga hukum di indonesia tidak berjalan dengan semestinya padahal hukum itu  merupakan peraturan hukum yang bersifat memaksa dan mengikat.
Ketidak adilan hukum di indonesia akan berjalan apabila pihak penegak hukum menjalan kan tugasnya sebagaimana mestinya.dan memberikan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya baik dari kalangan bawah maupun dari kalangan atas dengan tegas.


Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesia
Ketidak adilan hukum yang terjadi di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat kalangan bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi.Namun bagi masyarakat kalangan atas atau pejabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan tuntutanhukum.
Sepertinya masih segar ingatan di benak kita. Sebuah kabar besar tersiar tentang tabrakan maut yang menewaskan dua orang. Kabar itu menjadi besar, karena pelaku tabrakan maut adalah M. Rasyid Amrullah Rajasa (RA). Putera bungsu dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Kasus yang dari awal sudah ditutup tutupi itu, kabarnya berakhir dengan damai. Bukan hanya itu, RA yang beberapa waktu lalu telah ditetapkan sebagai tersangka, nyatanya tidak pernah masuk ruang tahanan. Alasan yang aneh dikemukan bahwa kondisi psikis RA mengalami trauma. Bukan hanya itu yang kedua, keluarga RA (Hatta Rajasa) menjamin, bahwa RA akan bersikap kooperatif.
Hal tersebut adalah alasan yang mengada-ada, kenapa demikian? Siapapun pastinya akan trauma jika mengalami hal tersebut. Jangankan tabrakkan maut, tangan tertusuk duri pun sepertinya akan mengalami trauma, meski dalam taraf yang berbeda. Lagi pula, orang yang sudah terbukti bersalah, mana ada yang tidak kooperatif.
Inilah sebenarnya yang menjadi ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia. Begitu sulitnya menjerat mereka dengan tuntutan hukum. karena mereka punya kekuasaan, punya kekuatan, dan punya banyak uang sehingga bisa mengalahkan hukum. Saya sangat prihatin dengan keadaan ini.
Sangat gampang sekali menghukum seorang yang hanya mencuri satu buah semangka, begitu mudahnya menjebloskan ke penjara suami-istri yang kedapatan mencuri pisang karena keadaan kemiskinan. Namun demikian sangat sulit dan sangat berbelit-belit begitu akan menjerat pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Padahal  dihadapan hukum mereka mempunyai kedudukan sama.
Kini yang jadi masalah adalah dimana keadilan itu, Dimana prinsip kemanusian, Seharusnya para penegak hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum secara positifistik.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Saya sendiri merasa malu dengan moral bangsa ini yang begitu naïf. Ada pertanyaan besar yang timbul dari serangkaian kasus di negeri ini, Apakah hukum di Indonesia bisa di beli dengan uang ? Jika bisa, konglomerat tidak perlu takut melanggar hukum karena mereka dapat bernegoisasi di belakang pengadilan agar mendapatkan keringanan hukum. Yang menjadi masalah adalah rakyat kecil yang semakin tidak terlindungi dan semakin tertindas.
            Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan mandiri sedangkan hukumnya saja di kontrol dengan uang ? menurut saya, Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Melihat hukum di indonesia masih sangatlah kurang dikarenakan masih minimnya mental dan jiwa para penegak hukum. Banyak kasus di negara ini yang belum sempat terselesaikan oleh adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan kebijakan dan wewenang kekuasaan mereka. Begitu juga penegak hukum yang masih belum bisa menegakkan keadilan bagi masyarakat di Indonesia.
Berbagai tindakan diskriminasi masih terlihat di negeri kita dimana para penegak hukum lebih mendahulukan keadilan kalangan atas di bandingkan keadilan kalangan bawah.
Hal inilah yang menjadikan bangsa Indonesia memiliki jiwa yang lemah dalam menegakkan keadilan. Dimana-mana menghalalkan segala cara yang mereka miliki hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Tanpa melihat akibatnya yang merugikan orang lain. Dapat dilihat secara jelas bahwa keadilan di indonesia masih sangatlah kurang. Saya malah berdapat bahwa keadilan di Indonesia hanyalah untuk kalangan tertentu saja dan keadilan untuk kalangan bawah bagi mereka hanyalah mimpi.
Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti pencuri semangka dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Keanehan yang Namanya “Hukum
Ada begitu banyak yang masih menjadi misteri dan PR “sudahkah Indonesia menjadi negara hukum bagi seluruh rakyatnya?” Dalam berbagai kesempatan di blog, saya menulis unek-unek suatu kasus dan kondisi dimana saya merasa terjadi ketidakadilan dalam peristiwa tersebut. Contohnya adalah Keanehan KPUBuddha Bar, UU ITE dan Pornografi terhadap Situs Porno, Korupsi Dana DKP pada Pilpres 2004. Selain tulisan saya diatas, bagaimana Imam Hambali (Kemat) dan David Eko Prianto yang ditangkap dan dipidana 17 dan 12 tahun penjara serta Maman Sugianto  (Sugik) yang disergap dan didakwa akibat aparat kepolisian Jombang yang tidak profesional mengungkap kasus pembunuhan Asrori (dilanjutkan oleh Kejati Jombang).
Berbagai kasus ketidakadilan rakyat kecil terus terjadi, disisi lain para penguasa dengan seenak-enaknya dapat melanggar aturan. Saya melihat bahwa kasus Buddha Bar merupakan salah satu konspirasi terbesar ketimpangan oleh penguasa dan pengusaha yang dengan enteng menepikan hukum perundangan kita. Bagaimana kasus korupsi DKP yang hanya menumbalkan terpidana Rokhmin Dahuri. Bagaimana UU ITE dan Pornografi tidak digunakan untuk melindungi rakyat banyak, tapi disisi lain hanya menjerat suara rakyat kecil.
Makanya, saya katakan bawah tidaklah heran jika kita melihat fenomena  produk-produk hukum (UU dan turunannya) di negeri yang dibuat dengan dana miliaran rupiah hanya untuk menjerat si miskin bertambah miskin dan tidak berdaya. Sedangkan para penguasa beserta kroninya memiliki akses yang  seluas-luasnya dalam berbagai izin inkonstitusional dan pemanfaatan fasilitas negara.

Dilema Prita Mulyasari
Prita Mulyasari, seorang ibu dari dua orang anak yang masih kecil harus mendekam dibalik jeruji karena didakwa atas pelanggaran  Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dari pengakuannya, ia menjadi korban oknum perusahaan yang memperlakukan dia bak sapi perahan. Pasien yang harusnya mendapat prioritas pelayanan kesehatan yang prima, justru menjadi obyek eksploitasi finansial dan bahkan jika apa yang diungkapkan oleh ibu Priya Mulyasari dalam email/surat pembaca itu benar , maka secara insitusi RS Omni Internasional melindungi oknum dokter yang melakukan mal-praktik. Pihak manajemen RS Omni telah menggunakan kekuasaan jaringan dan keuangan untuk mendukung perbuatan yang tidak semestinya.

Prita Dipenjara, tapi Kejahatan Pornografi?
UU ITE mengatur banyak aspek dalam dunia internet, mulai dari etika-moral dalam menggunakan internet hingga transaksi bisnis internet. Perbuatan yang pertama dilarang dalam UU 11/2008 adalah tindakan penyebaran konten asusila [ditegaskan dalam UU 44/2008 tentang Pornografi], lalu perjudian (2), pencemaran nama baik (3), dan pemerasan/ancaman (4), hal-hal berbau SARA dan seterusnya. Bila kita melihat urutannya, maka semestinya UU ITE yang disahkan pada April 2008 digunakan untuk membersihkan konten porno dari dunia internet demi melindungi generasi muda dari degradasi moralitas.
Namun, adakah perubahan berarti informasi dan industri pornografi via internet di Indonesia sejak diterbitnya UU ITE April 2008 dan UU Pornografi Oktober 2008 silam? Bukankah kasus pelanggaran Pasal 27 ayat 1 lebih banyak daripada ayat 3 UU 11/2008? Mengapa pula seorang ibu yang menyampaikan unek-unek menjadi korban mal praktik perusahaan rumah sakit harus kembali menjadi korban sementara para oknum rumah sakit berleha-leha? Apakah dengan kekuasaan jaringan dan finansial, maka manajemen Omni bisa menyewa pengacara (bahkan jaksa) membuat yang benar jadi salah, salah jadi benar? Mengapa kepolisian tidak menyelidiki siapa yang menyebarluaskan email private dari Bu Prita?
Dan mengapa untuk membahas masalah ini, saya mengangkat isu yang terlalu lebar yakni masalah hukum secara umum? Karena saya sangat percaya, bahwa kasus Ibu Prita, Rokhmin Dahuri, Kemat, David, Sugik, Sengkon dan Karta. hanyalah fenomena gunung es atas ketidakadilan hukum di negeri ini. Lebih baik tidak memilih sama sekali, daripada memilih pemimpin yang tidak tegas memperjuangkan keadilan rakyat! Utang najis saja terus dibela, suara rakyat kecil dipasung! Hukum dapat siran oleh kekuasaan dan baru muncul ketika kampanye datang. Sesungguhnya dimanakah hukum itu? Ditangan penguasa kah?


Solusi Dari Kasus Ketidak Adilan Hukum Di Indonesia
1.      perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.
2.      Sebaiknya penegakkan hukum menegakkan hukum dengan tegas sesuai dengan kesalahan yang dilakukan tampa membedakan pihak satu dengan lainnya karena kedudukan kita dihadapan hukum sama
3.      Kedua belah pihak harus menaati hukum sebagaimana mestinya dan ini tidak hanya bagi penegak hukum saja tetapi seluruh warga negara indonesia.

 Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar